Selasa, 23 Desember 2008
Srangga, Sumber pangan masa depan
Senin, 22 Desember 2008 | 02:27 WIB
Di Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, masyarakat memakan belalang goreng sebagai lauk. Masyarakat Papua mengonsumsi ulat sagu. Di Samosir, Sumatera Utara, capung pernah dikenal sebagai makanan yang lezat. Orang Jawa mengenal laron yang gurih. Masihkah kita berpikir pangan itu tergolong pangan ekstrem, aneh, dan menjijikkan? Sebuah festival makanan di Richmond, Virginia, Amerika Serikat, mungkin bisa menjadi inspirasi untuk memanfaatkan serangga.
Di tengah ancaman krisis pangan, semua pihak harus mencari pangan alternatif. Selain sumber karbohidrat, sumber protein juga harus dicari. Serangga adalah salah satu sumber protein yang kaya. Sangat mungkin pula serangga menjadi pangan fungsional yang bisa berfungsi sebagai obat.
”Sayangnya, setiap kali membicarakan serangga selalu terbayang hal yang menjijikkan. Pandangan ini harus diubah karena serangga juga sumber protein,” kata Kepala Lembaga Penelitian Pengabdian pada Masyarakat Unika Santo Thomas Posman Sibuea di Medan beberapa waktu yang lalu.
Posman menceritakan, di beberapa daerah di Sumatera Utara sejumlah warga pada masa lalu mengonsumsi serangga, seperti belalang, capung, dan sejenis jangkrik. Pangan jenis ini tersingkir karena mendapat label makanan primitif dan diberi simbol dekat dengan kemiskinan.
Tak paham
Generasi berikutnya sudah tak paham lagi dengan pangan ini karena orangtua mereka telah menyingkirkan pangan ini diganti dengan pangan yang diberi label modern dan disebut lebih beradab.
”Kita harus mempromosikan sumber pangan lokal kalau kita ingin tidak terpengaruh oleh krisis pangan. Kesan menjijikkan dan simbol kemiskinan harus diubah. Serangga kaya protein, hampir 60 persen dari berat serangga adalah protein,” kata Posman. Ia menyebutkan, di beberapa daerah jenis serangga lazim dikonsumsi masyarakat, seperti ulat sagu, belalang, tawon, dan berbagai serangga lainnya.
Adalah David George Gordon (58), penulis buku The Eat A Bug Cookbook dari Seattle yang memperkenalkan jangkrik dalam pameran makanan di Richmond, Virginia, beberapa bulan yang lalu seperti dikutip majalah Time. Kontan saja menu yang disajikan Gordon dikerubuti orang-orang yang penasaran karena selama ini warga Amerika Serikat tak mengenal serangga dalam menu konsumsi mereka.
Gordon beralasan, menu serangga relatif lebih ramah lingkungan dibandingkan daging ayam ataupun daging sapi. Sektor peternakan, yang di dalamnya termasuk produksi daging itu, menyumbang emisi gas rumah kaca sekitar 18 persen, sedangkan serangga sangat kecil memberi dampak produksi gas rumah kaca. Ia sendiri menyatakan, serangga adalah pangan masa depan ketika harga-harga pangan yang ada menjulang tinggi.
”Alam telah sangat bagus menghasilkan serangga,” kata David Gracer, salah satu juru masak di festival makanan itu. Ia beralasan, serangga tidak membutuhkan tempat yang besar dan membutuhkan sedikit pasokan pakan. Ia mencontohkan, hanya dibutuhkan sedikit air untuk menghasilkan 150 gram belalang, sebaliknya untuk memproduksi daging sapi dalam jumlah yang sama dibutuhkan 3.290 liter air.
Alasan lainnya, serangga yang berdarah dingin mengonsumsi makanan untuk pembentukan tubuh mereka, sedangkan hewan mamalia membutuhkan makanan, selain untuk membentuk tubuh mereka, juga untuk mempertahankan stabilitas temperatur tubuh. Dalam hal ini dikenal koefisien konversi makanan yang masuk ke tubuh dengan bobot tubuh (ECI). ECI untuk sapi hanya 10. ECI untuk ulat sutra antara 19 hingga 31, sedangkan ECI kecoa Jerman 44. Artinya, makanan yang dikonsumsi serangga lebih banyak menjadi substansi tubuh.
Gordon mengakui tidak mudah untuk mengenalkan menu serangga ini kepada masyarakat Amerika Serikat. Banyak pandangan yang menyebutkan bahwa serangga merupakan binatang yang kotor, sumber penyakit, dan berbahaya bila dimakan. Akan tetapi, ia mengatakan, dengan penanganan yang baik, serangga merupakan makanan yang enak. Setidaknya, dengan pemasakan yang benar, kemungkinan alergi bisa dihindarkan.
Ia yakin serangga akan menjadi masakan masa depan. Ketika dunia mengalami ledakan penduduk dan dampak perubahan iklim mulai terjadi yang berakibat pada kerusakan pasokan pangan, serangga akan menjadi pilihan. Ia mengingatkan, 50 tahun yang lalu makanan sejenis sushi merupakan hal yang tabu, tetapi sekarang sudah ada 9.000 restoran sushi di Amerika Serikat.
”Selama ini serangga dihindari karena dikhawatirkan beracun. Saya berpendapat semua zat bisa saja beracun, yang membedakannya adalah dosisnya. Oleh karena itu, sangat mungkin serangga mempunyai senyawa aktif tertentu yang kalau dosisnya terlalu tinggi bisa menjadi racun, tetapi kalau rendah malah bisa menguntungkan tubuh,” kata Prof Budi Widianarko dari Jurusan Teknologi Pangan, Unika Soegijapranata, Semarang, mengomentari kemunculan serangga sebagai sumber pangan itu.
Untuk itu, ia mengusulkan sumber pangan ini harus dilihat bukan hanya sebagai sumber protein saja, tetapi juga sebagai pangan fungsional. Dalam kategori ini konsumsi serangga bisa berfungsi medis ataupun aprodisiak alias pembangkit gairah seks. Kemungkinan fungsi- fungsi itu harus diteliti lebih lanjut.
Budi Widianarko mengatakan, persepsi baru tentang serangga muncul sebagai bagian dari siklus persepsi yang diikuti dengan perubahan peradaban. Perubahan-perubahan persepsi selalu terjadi di dalam setiap masa. Dalam konteks sekarang, perubahan itu terjadi karena krisis pangan dan perubahan iklim.
”Kita kembali ke makanan seperti itu sebagai usaha besar untuk mencari makanan yang mempunyai gizi dan bermanfaat bagi kesehatan. Pencarian sumber pangan dari binatang memang lebih lambat dibandingkan pangan yang berasal dari tumbuhan,” katanya.
Ia mencontohkan, kemunculan kembali buah pace yang dulu diemohi masyarakat tiba-tiba digandrungi setelah ada riset yang menunjukkan khasiat pace. Padahal, dulu masyarakat telah mengenal rujak pace.
Widianarko menyarankan, lembaga penelitian dan pemerintah harus secepatnya menginventarisasi bahan makanan menjadi kekayaan hayati dan juga menjadi keunggulan Indonesia. Selama ini dokumentasi mengenai makanan eksotik ini sangat minim. Riset-riset pangan ini juga tergolong diabaikan. Perguruan tinggi lebih tenggelam dengan penelitian-penelitian klasik.
Potensi
Ia yakin serangga atau pangan eksotik lainnya memiliki potensi yang besar sebagai sumber protein maupun pangan berfungsi medis. Pengalaman masyarakat mengonsumsi bahan-bahan tersebut bisa dijadikan pintu masuk untuk menggali potensi pangan-pangan eksotik hingga menjadi menu sehari-hari.
”Pangan seperti itu memiliki akar tradisi yang umurnya ribuan tahun, masak ada yang salah dengan makanan itu?” katanya. Pembuktian secara ilmiah memang diperlukan, tetapi bila bahan pangan itu telah digunakan oleh komunitas tertentu dan berlangsung lama, maka bisa menjadi petunjuk fungsi makanan tersebut.
Meski demikian Widianarko mengkritik, kebangkitan makanan eksotik di Indonesia muncul karena adanya kebangkitan makanan sejenis di negara lain. Bila ini yang terjadi, Indonesia hanya terjebak menjadi pengikut semata. Ke mana dunia bergerak, Indonesia hanya menuruti perubahan di negara lain.
Indonesia harus mampu menunjukkan keunggulan di bidang ini karena memiliki sumber yang kaya. Indonesia juga memiliki tradisi yang kuat dalam mengonsumsi pangan-pangan yang disebut dengan pangan ekstrem itu.
”Kalau melihat polanya, kita hanya kembali menjadi pengikut,” katanya. Ia mencontohkan, tempe bisa kembali menjadi hadir di meja makan dan digandrungi masyarakat setelah kalangan internasional melontarkan khasiat tempe. Pada saat kita kembali menggandrungi tempe, paten riset tempe telah dikuasai negara lain. Kita hanya menjadi penonton di negeri asal tempe. (ANDREAS MARYOTO)
Minggu, 30 November 2008
Jagung Transgenik Menembus Filipina
Kompas. Jumat, 29 Agustus 2008 | 13:42 WIB
Pemandangan menarik terbentang di sebuah desa di Cagayan, wilayah utara Filipina, sekitar satu setengah jam perjalanan udara dari Manila. Puluhan hektar tanaman jagung berbagai varietas terhampar dan siap dipanen.
Masing-masing tampak saling ”beradu” keunggulan teknologi untuk meraih produktivitas tinggi demi meningkatkan pendapatan petani jagung di sana. Bentangan tanaman jagung di blok yang satu merupakan varietas jagung hibrida konvensional. Di Filipina, istilah konvensional melekat pada varietas jagung hibrida yang belum menjalani modifikasi teknologi atau rekayasa genetika.
Teknik budidaya jagung hibrida konvensional juga masih menggunakan pendekatan ”lama”. Misalnya saja petani harus terus memantau pertumbuhan tanaman jagung hampir setiap saat kalau tidak ingin produktivitasnya berkurang. Apabila tanaman jagung terserang hama-penyakit, para petani memberantasnya dengan menyemprotkan insektisida. Waktu penyemprotan yang tepat adalah 24 jam sebelum hujan tiba.
Di sisi yang lain terbentang tanaman jagung varietas hibrida-transgenik atau hasil rekayasa genetika (genetic modified organism/GMO. Benih jagung transgenik (Bacillus thuringiensis/Bt Corn) yang ditanam itu sudah dimasukkan gen yang tahan terhadap serangan serangga penggerek batang dan tongkol, juga tahan terhadap insektisida pembasmi rumput.
Meski usia tanam di antara keduanya sama, tanaman jagung transgenik daunnya tampak lebih hijau dan segar meskipun bulir jagung mulai berisi penuh dan tinggal satu-dua minggu menunggu jagung kering panen. Di antara tanaman jagung hibrida transgenik juga tidak banyak ditumbuhi gulma alias rumput liar. Lahan jagung terlihat bersih sehingga pertumbuhan tanaman jagung lebih optimal karena tidak harus berebut nutrisi dengan rumput liar.
Kondisi sebaliknya terdapat pada tanaman jagung hibrida konvensional. Selain banyak rumput, warna daun lebih kuning, batang dan tongkol jagung juga banyak diserang ulat penggerak batang dan tongkol. Berat jenis bulir jagung berkurang dan akibatnya produktivitas turun. ”Tampaknya kami akan panen lebih bagus kali ini,” kata Montiago (45), petani di Cagayan yang menanam jagung transgenik.
Lebih berani
Para petani di Filipina mulai tertarik menanam jagung transgenik. Alasannya karena produktivitas per hektar tanaman jagung transgenik lebih tinggi 10-20 persen dibandingkan hibrida nontransgenik. Peningkatan produktivitas 10-20 persen bisa di dapat oleh tanaman jagung transgenik seperti jenis Bt corn karena tanaman tersebut lebih tahan terhadap serangan serangga penggerek batang dan tongkol yang dapat menurunkan produktivitas.
Sudah lama dikeluhkan oleh para petani di Filipina ganasnya ulat penggerek batang dan tongkol. Tanaman jagung yang baru keluar serbuk sarinya langsung diserang ulat-ulat itu. Seiring pertumbuhan tongkol jagung, ulat-ulat itu tumbuh dengan suburnya. Bahkan, pertumbuhannya bisa lebih besar daripada lidi. Selama berada dalam tongkol jagung, ulat itu terus mengebor ke dalam tongkol.
Jumlahnya tidak cuma satu. Dalam satu tongkol kerap terdapat banyak ulat. Tongkol- tongkol jagung yang terserang ulat penggerek kadang sampai bengkok. Ganasnya ulat penggerek tongkol tak jarang mengakibatkan bulir jagung tidak terisi penuh sehingga kualitas jagung menjadi buruk dan berat jagung panen berkurang tajam.
Hilangnya sebagian berat jenis jagung akibat bulir tidak penuh terisi berarti kerugian bagi petani. Belum lagi gangguan gulma, seperti rumput yang juga dapat menghambat pertumbuhan jagung, juga dapat menekan produktivitas. Karena itu, petani di Filipina begitu antusias untuk menanam jagung transgenik, melihat berbagai kemudahan dan keuntungan finansial yang didapat. Apalagi keinginan mereka sejak 2003 juga mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Profesor peneliti pada Institut of Plant Breeding Universitas Filipina, Evelyn Mae Tecson- Mendoza mengungkapkan, yang diinginkan petani dari ladang pertanaman mereka adalah produktivitas yang tinggi, tanaman tahan terhadap serangan hama penyakit, dan kualitas produk pertanian lebih bagus.
Keinginan petani di Filipina itu terjawab dengan hadirnya jagung transgenik. Benih jagung transgenik memungkinkan menghasilkan produktivitas tinggi, kualitas lebih bagus, dan tahan serangan hama penyakit karena didesain spesifik untuk tujuan tersebut. Benih jagung hibrida yang ingin menghasilkan produk sesuai yang diharapkan bisa dihasilkan dengan rekayasa genetika. Pada pembenihan jagung konvensional, hal itu sulit dilakukan karena gen tetua bisa tercampur dengan gen lain.
Dengan rekayasa genetika, memungkinkan teknologi pertanian modern mentransfer gen yang diinginkan dari makhluk hidup lain untuk dimasukkan pada benih jagung. Gen yang ditransfer bisa berasal dari gen tanaman sejenis atau dari gen hewan. Misalnya saja, seseorang menginginkan bisa mengonsumsi jagung yang rendah kandungan karbohidrat. Atau bisa saja menghasilkan produk jagung yang mendorong peningkatan produksi insulin, mencegah kanker, serta hepatitis. Dengan bioteknologi modern, mutasi gen bisa dilakukan.
Sampai saat ini nilai perdagangan produk bioteknologi modern di pasar global mencapai 44,3 miliar dollar AS. Pasar terbesar atau 60 persen di Amerika Serikat, disusul Jepang 6,9 persen, Jerman 6,4 persen, Prancis 5,4 persen, dan Italia, Spanyol, serta Inggris yang masing-masing di bawah 4 persen. Saat ini tanaman transgenik sudah diadopsi di 12 negara berkembang dan 11 negara industri maju.
Filipina merupakan negara berkembang yang ”lebih berani” dalam mengambil sikap soal tanaman transgenik. Setidaknya sejak diperkenalkan di Filipina tahun 2003, tanaman jagung hibrida transgenik di Filipina sudah mencapai luasan 200.000 hektar.
"Kami tidak memberikan dukungan apa pun, kami memberikan keleluasaan bagi petani yang mau menanam jagung. Subsidi jagung untuk peningkatan produksi jagung nasional hanya diberikan pada pembukaan lahan baru," kata Kepala Program Sekretariat GMA Corn Departemen Pertanian Filipina Milo Delos Reyes, pekan lalu.
Tidak mau terus impor
Filipina sejak setahun lalu memang giat menanam jagung. Mereka sudah terlalu lelah terus bergantung pada pasokan jagung impor untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan pangan warganya. Rata-rata impor jagung Filipina 1 juta per tahun.
Bahkan, pada tahun 2006 impor jagung Filipina mencapai 1,3 juta ton. Kejenuhan karena terlalu bergantung pada jagung impor yang menguras devisa, apalagi saat sekarang ketika harga jagung dunia di atas 400 dollar AS per ton, mendorong Filipina membuat terobosan dalam budidaya tanaman jagung.
Pilihannya dengan menanam jagung transgenik atau Bt Corn di ladang-ladang pertanian mereka. Semangatnya hanya satu, bagaimana produksi bisa digenjot setinggi-tingginya agar surplus. Sikap ”berani” Pemerintah Filipina ini membuahkan hasil. Produksi jagung Filipina terus melonjak dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 produksi jagung nasional Filipina hanya mampu memenuhi 80 dari kebutuhan, tetapi 2008 diperkirakan mencapai 90 persen atau sebesar 9,83 juta ton.
Terlepas dari persoalan pro-kontra penggunaan benih jagung hibrida transgenik terhadap kesehatan, bagi petani jagung, menanam jagung transgenik lebih menyejahterakan. (Hermas E Prabowo dari Cagayan, Filipina)
Jagung Transgenik Tingkatkan Pendapatan Petani
Kamis, 23 Oktober 2008 | 14:14 WIB
Kompas. JAKARTA, KAMIS — Potensi jagung transgenik tidak saja meningkatkan pendapatan para petani, tetapi juga dapat mengurangi beban impor jagung nasional karena hasil produksi yang meningkat setiap kali panen. "Sistem transgenik telah membuat pohon jagung lebih tahan terhadap hama dan herbisida," kata Sekretaris Eksekutif Center for Alternative Dispute Resolution Policy and Environment (CARE) Institut Pertanian Bogor (IPB) Dahri Tanjung saat konferensi pers di Gedung Departemen Pertanian, Jakarta, Kamis (23/10).
Dahri menjelaskan, jagung transgenik merupakan jagung biasa atau jagung hibrida yang telah diseleksi untuk mendapatkan contoh yang paling stabil. Sampel tersebut akan dimasuki sifat atau gen bakteri dari serangga yang menyerang tanaman jagung. Ketika ditanam, pohon jagung sudah memiliki semacam antibodi terhadap serangga hingga masa panen tiba.
Saat ini jagung transgenik telah ditanam di kawasan Jawa Timur dan Lampung seluas 1,36 hektar dari 3,4 juta hektar lahan yang ada. Sebanyak 90 persen dari total produksi dipasok ke industri pengolahan jagung dan sisanya dikonsumsi langsung.
Sementara itu, salah satu peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Uut Widyastuti, mengatakan, jagung tersebut telah diujicobakan dalam laboratorium dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Namun, saat ini jagung tersebut masih menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang keamanan pangan. Hal ini disebabkan regulasi mengenai pengaturan makanan layak konsumsi berbeda di setiap negara.
Uut melanjutkan, metode penelitian hingga menjadi produk dan sosial budaya masyarakat menjadi pertimbangan terpenting. "Kami yakin tahun 2009, izin tersebut akan dikeluarkan, mengingat para petani sangat menyambut positif dan kios-kios benih sudah siap menjadi penyalur," tutur Uut. (C12-08)
Pupuk Organik Itu Mudah
CARA AJAIB MEMBUAT PUPUK ORGANIK ( KOMPOS ) |
Senin, 24 Desember 2007 | |
Menghasilkan Pupuk Organik Dgn Praktis & Biaya Murah ( semudah membuat tempe kedelai )
Telah ditemukan terobosan baru dalam pembuatan kompos/pupuk organik yang lebih sederhana, lebih murah dan hemat tenaga (bisa dibilang sebagai “Cara Ajaib“ dalam pembuatan kompos). Teknologi ini ditemukan oleh Dr. Ir. Darmono Taniwiryono, MSc.( Kepala Balai penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia ), dan telah dihadirkan oleh Bidang TPH Dispertanhut Purbalingga dalam acara “ Apresiasi Pembuatan Pupuk Organik Kab. Purbalingga “ tanggal 6 Desember 2007 di Aula Hotel Kencana yang digadiri oleh Wakil Bupati Purbalingga. Pupuk organik ternyata bisa dibuat dengan biaya murah, hanya sekitar Rp. 15.000,- per ton bahan baku yang mau dibuat kompos, tidak ada tambahan bahan/materi dan biaya lain selain untuk pembelian formula yang harganya hanya sekitar Rp. 15.000,- / kg untuk pembuatan 1 ton bokasi. Formula ini dinamai “PROMI” yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bentuknya seperti bubuk atau butiran tanah, hanya saja formula ini mengandung mikroba unggul asli Indonesia dan mikroba tsb bisa bertahan hidup sampai 1 (satu) tahun. Hebatnya kompos/pupuk organic yang dihasilkan dengan formula Promi kaya dengan dengan mikroba yang bias mempercepat tunbuh tanaman serta mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Pengomposan dengan Promi lebih murah dan lebih praktis dari pada pengomposan dengan EM4, karena ada beban yang perlu ditanggung oelh petani bila membuat kompos dengan EM4 antara lain teknologi EM4 memerlukan bahan –bahan tambahan yang bisa membuat biaya pengomposan cukup tinggi dan membutuhkan tenagas lebih banyak serta tempat yang luas. Kalau pengomposan memakai promi punya kelebihan : tidak menggunakan bahan tambahan, hemat tempat (tinggi tumpukan hanya cukup 1,5 m ) ,biaya lebih murah dan lebih mudah/praktis ( semudah membuat tempe kedelai ).Seiring dengan program percepatan penerapan pupuk organik di Purbalingga, sudah selayaknya teknologi pembuatan pupuk organik dengan formula PROMI ini perlu disosialisasikan, kqarena para petani bias membuat sendiri pupuk organic/kompos-nya dengan hanya membeli PROMI untuk 1 ton bahan bakau pembuatan kompos, yang tentunya sangat lebih murah daripada parqa petani membeli pupuk organic di pasaran yang relative lebih mahal. Apalagi tidak memerlukan tambahan bahan/materi seperti pada teknologi EM4 ( perlu tambahan dedak dan molase ), cukup dengan jerami di lahan-lahan-lahan sawah yang sangat berlimpah. (Ir. Arief Khoiruddin. MSi, bersumber dari paparan Dr.Ir. Darmono pada acara "Apresiasi Pembuatan Pupuk Organik" tanggal 6 Desmber 2007 di Aula Hotel Kencana Purbalingga). |