1. KELUARAN
Ternak domba berproduksi optimal
2. PEDOMAN TEKNIS
1. Jenis domba asli di Indonesia adalah domba ekor tipis, Domba ekor gemuk dan Domba garut
2. Memilih bibit
1. Pemilihan bibit, umur Domba > 12 bulan (2 buah gigi seri tetap), dengan tubuh baik, bebas cacat tubuh, puting dua buah dan berat badan > 20 kg, keturunan dari ternak yang beranak kembar.
2. Calon pejantan, umur > 1 1/2 tahun (2 gigi seri tetap), keturunan domba beranak kembar, tidak cacat, skrotum symetris dan relatif besar, sehat dan konfirmasi tubuh seimbang.
3. Pakan
1. Ternak domba menyukai macam-macam daun-daunan sebagai pakan dasar dan pakan tambahan (konsentrat).
2. Pakan tambahan dapat disusun (bungkil kalapa, bungkil kedelai), dedak, tepung ikan ditambah mineral dan vitamin.
3. Pakan dasar umumnya adalah rumput kayangan, daun lamtoro, gamal, daun nangka, dsb.
4. Pemberian hijauan sebaiknya mencapai 3 % berat badan (dasar bahan kering) atau 10 - 15 % berat badan (dasar bahan segar)
4. Pemberian pakan induk
Selain campuran hijauan, pakan tambahan perlu diberikan saat bunting tua dan baru melahirkan, sekitar 1 1/2 % berat badan dengan kandungan protein 16 %.
5. Kandang
Pada prinsipnya bentuk, bahan dan konstruksi kandang kambing berukuran 1 1/2 m2 untuk induk secara individu. Pejantan dipisahkan dengan ukuran kandang 2 m2, sedang anak lepas sapih disatukan (umur 3 bulan) dengan ukuran 1 m / ekor. Tinggi penyekat 1 1/2 - 2 X tinggi ternak.
6. Pencegahan penyakit : sebelum dikandangkan, domba harus dibebaskan dari parasit internal dengan pemberian obat cacing, dan parasit eksternal dengan dimandikan.
3. SUMBER
Departemen Pertanian, http://www.deptan.go.id
4. KONTAK HUBUNGAN
Departemen Pertanian RI, Kantor Pusat Departemen Pertanian - Jalan Harsono RM No. 3, Ragunan - Pasar Minggu, Jakarta 12550 - Indonesia
SUSU TAMBAHAN UNTUK ANAK DOMBA
1. KELUARAN
Teknologi pemberian susu tambahan
2. BAHAN
Air susu sapi/susu bubuk, minyak ikan, telur ayam, gula pasir.
3. PERALATAN
Sendok, dot susu, gelas
4. PEDOMAN TEKNIS
1. Cara membuat susu jolong (apabila induk mati atau anak domba lahir > 2 ekor) pada hari pertama dan kedua. Campurkan secara merata 0,25-0,5 liter susu sapi, susu bubuk, atau susu kambing, tambahkan minyak ikan, 1 butir telur ayam dan setengah sendok makan gula pasir. Aduk hingga merata dan berikan 200 - 300 cc/hari.
2. Cara pemberian susu jolong adalah dengan botol susu (dot bayi manusia). Berikan langsung secara disusukan 3 - 4 kali dengan letak botol lebih tinggi
dari anak domba.
3. Susu buatan dibuat dari 3-4 sendok makan susu bubuk (susu skim), 250-300 cc air matang hangat, tambahkan mentega dan 1/2 sensok makan gula pasir. Aduk hingga merata dan berikan untuk satu hari.
4. Pemberian dengan botol sampai umur 2 bulan, setelah umur 1 bulan, berikan makanan pakan hijauan dan konsentrat semaunya.
5. SUMBER
Departemen Pertanian, http://www.deptan.go.id, Maret 2001
Rabu, 30 Maret 2011
Pengendalian Penyakit TAURA SYNDROME VIRUS (TSV) pada Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Pengendalian Penyakit TAURA SYNDROME VIRUS (TSV) pada Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei
TSV mempakan virus yang menginfeksi udang vaname dan rostris (L. stylirostris) yang keduanya telah diintroduksi di Indanesia. Serangan TSV pada umumnya terjadi pada umur 14-40 hari setelah penebaran di tambak, dengan tingkat kematian dapat mencapai 95%. Apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, berarti infeksi berasal dari induk (vertikal), jika lebih dari 60 hari berarti infeksi berasal dari lingkungan (horisontal).
Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat kematiannya relatif rendah. Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut akan terjadi kematian massal. Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis. Pada fase kronis, udang mampu hidup dari tumbuh relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.
Beberapa gejala berikut ini dapat digunakan sebagai indikator kemungkinan adanya infeksi TSV, antara lain:
• Pada infeksi berat (akut) sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami kematim didominasi oleh udang yang sedang/baru selesai proses pergantian kulit (moulting), saluran pencemaan kosong dan warna tubuh kemerahan. Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada ekor kipas (telson)
• Udang yang selamat dari fase akut, umurnnya mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di bawah lapisan kutikula
TEKNIK PENGENDALIAN
Langkah utama pengendalian penyakit TSV harus dimulai dari upaya mencegah masuknya patogen ke dalam sistem budidaya udang melalui regulasi dan teknis yang terintegrasi dan berkesinambungan. Masuknya patogen ini dapat berasal dari induk, benur, air, carrier, pakan, pelaku budidaya, dan seluruh komponen produksi udang.
Rekomendasi strategi pengendalian penyakit TSV adalah memadukan antara aspek teknis dan regulasi secara sinergis yang disepakati oleh seluruh komponen (asosiasi), dilengkapi dengan prosedur operasional baku (Standard Operational Procedure, SOP), disosialisasikan secara rutin, dikawal oleh pemerintah dan dilakukan secara bersama-sama.
Pemahaman yang sama oleh seluruh komponen bahwa penyakit tersebut sangat berbahaya karena masuknya satu virion TSV ke dalam unit budidaya akan menjadi ancaman serius bagi keberhasilan budidaya. Strategi pengendalian penyakit TSV harus didasarkan pada upaya mencegah masuknya virus tersebut melalui berbagai jalur (konsep biosecurity).
Skrining Induk
Induk udang mempakan sumber potensial penularan penyakit TSV. Oleh karena itu, setiap individu induk udang harus bebas dari TSV. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka skrining harus dilakukan dengan metoda standar (c.q. PCR) secara periodik sebelum induk dipijahkan.
Untuk mencegah penyebaran TSV, benur harus diskrining sebelum ditebar meskipun berasal dari induk bebas TSV Oleh karena itu, skrining sebaiknya dilakukan 2-3 hari sebelum benur tersebut ditebar melalui dua tahap :
• Ambil 1-2% dan total populasi benur yang berasal dari satu bak/wadah, kemudian lakukan “uji keprimaan” benur secara perendaman dalam larutan formalin 200 ppm atau air tawar bersalinitas 0-5 promil selama 30 menit.
• Benur yang terlihat lemah pads “uji keprimaan”, diambil sebanyak 150 ekor untuk selanjutnya dilakukan diagnosa dengan teknik PCR.
Bila hasil diagnosa tahap 2 diperoleh hasil positif, maka populasi benur tersebut harus dimusnahkan.
Eradikasi TSV di Air pada Wadah Budidaya
Virion TSV masih infektif pada udang mati (karkas) sekitar 21 hari. Karkas akan melepaskan jutaan virion ke lingkungan perairan dan bertahan sampai dengan 4 (empat) hari. Oleh karena itu, air budidaya perlu didesinfeksi dengan menggunakan klorin (30 ppm) dan dibiarkan selama 7 (tujuh) hari.
Media Pembawa TSV
Media pembawa TSV (carrier dan vector) antara lain udang vaname yang mengalami infeksi kronis, biota akuatik, hewan dan tumbuhan lain yang membawa TSV harus dimusnahkan.
Peralatan dan personal, dapat membawa dan menyebarkan TSV sehingga harus dilakukan desinfeksi.
Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Budidaya
A. Lokasi
Lokasi pertambakan yang baik sangat mendukung kehidupan udang budidaya sehingga mampu bertahan terhadap infeksi patogen. Persyaratan lokasi yang baik antara lain bebas dari cemaran karena akan berakibat pada rendahnya kualitas air. Tarnbak yang sudah terlanjur dibangun di area tercemar harus dilengkapi dengan fasilitas perbaikan kualitas air.
B. Disain dan Konstruksi
Disain dan konstmksi tambak dibuat untuk memberikan lingkungan yang baik bagi kehidupan udang dan mampu mencegah masuknya patogen dari luar serta mudah dilakukan pengendalian penyakit. Disamping petakan budidaya juga harus disiapkan petakan tandon sebagai sumber air laut bebas virus. Petakan tandon juga dilengkapi dengan petak pengendapan.
C. Kawasan Budidaya Bebas Penyakit
Keberhasilan produksi dalam satu kawasan pertambakan ditemukan oleh kesadaran, disiplin, dan kerjasama par petambak. Penerapan cara berbudidaya yang benar yang dilakukan oleh sebagian petambak pada kawasan budidaya belum menjamin keberhasilan produksi secara berkelanjutan.
D. Sistem Budidaya
Sistem pertambakan yang baik untuk pengendalian penyakit TSV adalah sistem semi tertutup (semi closed system) dan tertutup (closed system), sehingga disain dan konstruksi harus disesuaikan. Tambak yang ideal terdiri dari petakan pemeliharaan dan petakan tandon, serta dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet yang terpisah. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga sistem pertambakan dari kemungkinan masuknya patogen dari luar dan keluamya patogen dari dalam ke luar sistem.
Cara lain untuk menghindari resiko infeksi virus dapat dilakukan dengan pergiliran pola tanam atau mengistirahtkan tambak untuk jangka waktu tertentu.
E. Pengelolaan Kualitas Air
Pasokan air dapat dimasukkan ke dalam tandon menggunakam pompa atau tenaga pasang surut. Air yang akan digunakan untuk budidaya udang harus bebas dari virus. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
• Gunakan saringan halus berlapis pada setiap pipa/pintu pasok air untuk mencegah masuknya karier ke dalam petak tandon.
• Gunakan petak tandon (reservoir) sebagai sumber pasokan air budidaya.
• Air di petak tandon dapat didesinfeksi, biofiltrasi, dan bioremidiasi.
• Air di petak tandon setelah dilakukan proses : point (1) sampai (3) dibiarkan selama 4 (empat) hari baru dapat digunakan di petak budidaya.
Pengelolaan Pakan
Pakan yang diberikan (segar dan alami) harus bebas dari TSV. Pakan segar dapat dibebaskan dari TSV melalui pemasakan terlebih dahulu. Sedangkan untuk pakan alami harus diskrining terlebih dahulu, jika mengandung TSV harus dimusnahkan.
Penambahan pakan suplemen (feed additive) seperti vitamin, immumostimulan, mineral, HUFA, Carotenoid, astaxanthin dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang yang dibudidaya. Vitamin C dapat diberikan dengan dosis 3 gram per kg pakan. Betaglucan dapat diberikan 0,1 g per kg pakan, sedangkan fucoidan dengan dosis 60-100 mg per kg berat udang per hari.
Monitoring Kesehatan Udang
Pemantauan kesehatan udang harus dilakukan secara periodik bersamaan dengan saat pemberian pakan dengan cara mengamati kondisi udang. Apabila terjadi kondisi abnormal perlu pengamatan lebih rinci. Abnormalitas udang merupakan peringatan dini (early warning) bagi pengelola akan adanya bahaya penyakit.
Keberadaan burung yang aktif memangsa udang di pematang tambak juga merupakan salah satu indikator awal keadaan udang sakit.
Pengecekan TSV harus dilakukan dengan PCR pada 25 (dua puluh lima) hari pertama setelah penebaran, selanjutnya secara berkala setiap 30 (tiga puluh) hari sampai panen.
Tindakan Darurat
Beberapa tindakan harus dilakukan segera apabila terjadi tanda-tanda wabah dengan cara sebagai berikut:
• Menutup aliran air masuk maupun keluar (isolasi).
• Melaporkan sesegera mungkin ke petugas dinas perikanan atau instansi terkait setempat/terdekat.
• Memperbaiki kualitas air dengan penambahan aerasi.
• Memberi pakan yang mengandung imunostimulan atau vitamin C dosis tinggi.
• Menyebarluaskan informasi kejadian wabah ke petani atau kelompok tani lainnya.
• Apabila tidak dapat dikendalikan, petak tambak segera didesinfeksi, dibiarkan selama 1 minggu, selanjutnya dikeringkan minimal selama 1minggu. Bangkai udang segera diangkat dan dimusnahkan dengan dibakar.
• Tidak menggunakan air, peralatan dan sarana lain yang berasal dan lokasi wabah.
• Membatasi lalu lintas orang dari dan ke lokasi wabah dalam rangka mengisolasi daerah wabah.
TSV mempakan virus yang menginfeksi udang vaname dan rostris (L. stylirostris) yang keduanya telah diintroduksi di Indanesia. Serangan TSV pada umumnya terjadi pada umur 14-40 hari setelah penebaran di tambak, dengan tingkat kematian dapat mencapai 95%. Apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, berarti infeksi berasal dari induk (vertikal), jika lebih dari 60 hari berarti infeksi berasal dari lingkungan (horisontal).
Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat kematiannya relatif rendah. Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut akan terjadi kematian massal. Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis. Pada fase kronis, udang mampu hidup dari tumbuh relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.
Beberapa gejala berikut ini dapat digunakan sebagai indikator kemungkinan adanya infeksi TSV, antara lain:
• Pada infeksi berat (akut) sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami kematim didominasi oleh udang yang sedang/baru selesai proses pergantian kulit (moulting), saluran pencemaan kosong dan warna tubuh kemerahan. Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada ekor kipas (telson)
• Udang yang selamat dari fase akut, umurnnya mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di bawah lapisan kutikula
TEKNIK PENGENDALIAN
Langkah utama pengendalian penyakit TSV harus dimulai dari upaya mencegah masuknya patogen ke dalam sistem budidaya udang melalui regulasi dan teknis yang terintegrasi dan berkesinambungan. Masuknya patogen ini dapat berasal dari induk, benur, air, carrier, pakan, pelaku budidaya, dan seluruh komponen produksi udang.
Rekomendasi strategi pengendalian penyakit TSV adalah memadukan antara aspek teknis dan regulasi secara sinergis yang disepakati oleh seluruh komponen (asosiasi), dilengkapi dengan prosedur operasional baku (Standard Operational Procedure, SOP), disosialisasikan secara rutin, dikawal oleh pemerintah dan dilakukan secara bersama-sama.
Pemahaman yang sama oleh seluruh komponen bahwa penyakit tersebut sangat berbahaya karena masuknya satu virion TSV ke dalam unit budidaya akan menjadi ancaman serius bagi keberhasilan budidaya. Strategi pengendalian penyakit TSV harus didasarkan pada upaya mencegah masuknya virus tersebut melalui berbagai jalur (konsep biosecurity).
Skrining Induk
Induk udang mempakan sumber potensial penularan penyakit TSV. Oleh karena itu, setiap individu induk udang harus bebas dari TSV. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka skrining harus dilakukan dengan metoda standar (c.q. PCR) secara periodik sebelum induk dipijahkan.
Untuk mencegah penyebaran TSV, benur harus diskrining sebelum ditebar meskipun berasal dari induk bebas TSV Oleh karena itu, skrining sebaiknya dilakukan 2-3 hari sebelum benur tersebut ditebar melalui dua tahap :
• Ambil 1-2% dan total populasi benur yang berasal dari satu bak/wadah, kemudian lakukan “uji keprimaan” benur secara perendaman dalam larutan formalin 200 ppm atau air tawar bersalinitas 0-5 promil selama 30 menit.
• Benur yang terlihat lemah pads “uji keprimaan”, diambil sebanyak 150 ekor untuk selanjutnya dilakukan diagnosa dengan teknik PCR.
Bila hasil diagnosa tahap 2 diperoleh hasil positif, maka populasi benur tersebut harus dimusnahkan.
Eradikasi TSV di Air pada Wadah Budidaya
Virion TSV masih infektif pada udang mati (karkas) sekitar 21 hari. Karkas akan melepaskan jutaan virion ke lingkungan perairan dan bertahan sampai dengan 4 (empat) hari. Oleh karena itu, air budidaya perlu didesinfeksi dengan menggunakan klorin (30 ppm) dan dibiarkan selama 7 (tujuh) hari.
Media Pembawa TSV
Media pembawa TSV (carrier dan vector) antara lain udang vaname yang mengalami infeksi kronis, biota akuatik, hewan dan tumbuhan lain yang membawa TSV harus dimusnahkan.
Peralatan dan personal, dapat membawa dan menyebarkan TSV sehingga harus dilakukan desinfeksi.
Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Budidaya
A. Lokasi
Lokasi pertambakan yang baik sangat mendukung kehidupan udang budidaya sehingga mampu bertahan terhadap infeksi patogen. Persyaratan lokasi yang baik antara lain bebas dari cemaran karena akan berakibat pada rendahnya kualitas air. Tarnbak yang sudah terlanjur dibangun di area tercemar harus dilengkapi dengan fasilitas perbaikan kualitas air.
B. Disain dan Konstruksi
Disain dan konstmksi tambak dibuat untuk memberikan lingkungan yang baik bagi kehidupan udang dan mampu mencegah masuknya patogen dari luar serta mudah dilakukan pengendalian penyakit. Disamping petakan budidaya juga harus disiapkan petakan tandon sebagai sumber air laut bebas virus. Petakan tandon juga dilengkapi dengan petak pengendapan.
C. Kawasan Budidaya Bebas Penyakit
Keberhasilan produksi dalam satu kawasan pertambakan ditemukan oleh kesadaran, disiplin, dan kerjasama par petambak. Penerapan cara berbudidaya yang benar yang dilakukan oleh sebagian petambak pada kawasan budidaya belum menjamin keberhasilan produksi secara berkelanjutan.
D. Sistem Budidaya
Sistem pertambakan yang baik untuk pengendalian penyakit TSV adalah sistem semi tertutup (semi closed system) dan tertutup (closed system), sehingga disain dan konstruksi harus disesuaikan. Tambak yang ideal terdiri dari petakan pemeliharaan dan petakan tandon, serta dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet yang terpisah. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga sistem pertambakan dari kemungkinan masuknya patogen dari luar dan keluamya patogen dari dalam ke luar sistem.
Cara lain untuk menghindari resiko infeksi virus dapat dilakukan dengan pergiliran pola tanam atau mengistirahtkan tambak untuk jangka waktu tertentu.
E. Pengelolaan Kualitas Air
Pasokan air dapat dimasukkan ke dalam tandon menggunakam pompa atau tenaga pasang surut. Air yang akan digunakan untuk budidaya udang harus bebas dari virus. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
• Gunakan saringan halus berlapis pada setiap pipa/pintu pasok air untuk mencegah masuknya karier ke dalam petak tandon.
• Gunakan petak tandon (reservoir) sebagai sumber pasokan air budidaya.
• Air di petak tandon dapat didesinfeksi, biofiltrasi, dan bioremidiasi.
• Air di petak tandon setelah dilakukan proses : point (1) sampai (3) dibiarkan selama 4 (empat) hari baru dapat digunakan di petak budidaya.
Pengelolaan Pakan
Pakan yang diberikan (segar dan alami) harus bebas dari TSV. Pakan segar dapat dibebaskan dari TSV melalui pemasakan terlebih dahulu. Sedangkan untuk pakan alami harus diskrining terlebih dahulu, jika mengandung TSV harus dimusnahkan.
Penambahan pakan suplemen (feed additive) seperti vitamin, immumostimulan, mineral, HUFA, Carotenoid, astaxanthin dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang yang dibudidaya. Vitamin C dapat diberikan dengan dosis 3 gram per kg pakan. Betaglucan dapat diberikan 0,1 g per kg pakan, sedangkan fucoidan dengan dosis 60-100 mg per kg berat udang per hari.
Monitoring Kesehatan Udang
Pemantauan kesehatan udang harus dilakukan secara periodik bersamaan dengan saat pemberian pakan dengan cara mengamati kondisi udang. Apabila terjadi kondisi abnormal perlu pengamatan lebih rinci. Abnormalitas udang merupakan peringatan dini (early warning) bagi pengelola akan adanya bahaya penyakit.
Keberadaan burung yang aktif memangsa udang di pematang tambak juga merupakan salah satu indikator awal keadaan udang sakit.
Pengecekan TSV harus dilakukan dengan PCR pada 25 (dua puluh lima) hari pertama setelah penebaran, selanjutnya secara berkala setiap 30 (tiga puluh) hari sampai panen.
Tindakan Darurat
Beberapa tindakan harus dilakukan segera apabila terjadi tanda-tanda wabah dengan cara sebagai berikut:
• Menutup aliran air masuk maupun keluar (isolasi).
• Melaporkan sesegera mungkin ke petugas dinas perikanan atau instansi terkait setempat/terdekat.
• Memperbaiki kualitas air dengan penambahan aerasi.
• Memberi pakan yang mengandung imunostimulan atau vitamin C dosis tinggi.
• Menyebarluaskan informasi kejadian wabah ke petani atau kelompok tani lainnya.
• Apabila tidak dapat dikendalikan, petak tambak segera didesinfeksi, dibiarkan selama 1 minggu, selanjutnya dikeringkan minimal selama 1minggu. Bangkai udang segera diangkat dan dimusnahkan dengan dibakar.
• Tidak menggunakan air, peralatan dan sarana lain yang berasal dan lokasi wabah.
• Membatasi lalu lintas orang dari dan ke lokasi wabah dalam rangka mengisolasi daerah wabah.
Rabu, 09 Maret 2011
Vaname, Kisahmu Tak Seindah Dulu...
Udang vaname, jagoan baru yang sejak tahun 2007 mulai jadi primadona di kampungku (Gabus, Tambakploso) itu kini tiba - tiba keok juga. Entah mengapa tahun ini semua bibit udang (benur) yang kutebar di 6 petak tambak yang di tiap petaknya rata - rata ditebar sejumlah 25 rean ( 1 rean 5.500 ekor) itu hanya mampu bertahan hidup dalam kurun waktu 30 sampai 40 hari. Jika itu terjadi di satu petak dan dalam kurun waktu satu periode tebar mungkin sebab humam error tapi kenapa itu terjadi di semua petak terus menerus hingga tiga kali periode tebar benih. Apa yang salah, dimana letak kesalahannya..?
......
Segudang pertanyaan dari rasa penasaran memenuhi kepalaku, penasaran akan sebab kematian massal udang vaname itu segala kemungkinan mulai aku inventarisir; mungkin karena sistem irigasi di kampungku yang semuanya include di sungai yang sama sehingga jika petak tambak yang udangnya mati dan airnya dikuras ke sungai itu sama halnya dengan memindahkan kematian udang ke petak tambak lain yang sedang mengisi air.; atau mungkin karena rentang tahun 2010 - 2011 tak ada musim kemarau yang sampai mengeringkan petak tambak dan sungai sehingga sisa makanan, pupuk dan obat - obatan yang tidak terdegradasi di petak tambak dan sungai itu justru berubah wujud dan kemudian menjadi sumber penyakit. Ach.. kemungkinan memang tanpa batas apalagi bagi seorang petani kecil yang melihat kemungkinan itu hanya berdasar pada dugaan.
Secercah harapan sempat tumbuh saat ada 6 orang yang katanya petugas dari perusahaan pupuk BUMN akan meneliti dan mencari solusi kematian massal udang vaname ini. Dengan seragam beratribut BUMN, sepatu mengkilap lengkap dengan memakai topi (mungkin takut wajahnya menjadi hitam) mereka sibuk menimba air dan kemudian melakukan tes kadar keasaman air di tambak tapi setelah diketahui bahwa kadar keasaman air sudah sesuai dengan kebutuhan udang mereka kok hanya jalan mondar mandir keliling tambak tanpa ada penjelasan.
Capek jalan berkeliling (lebih mirip orang lagi liburan) mereka hendak berpamitan dengan membawa sampel air dan udang yang mati, sebelum pulang mereka juga minta untuk bisa dikumpulkan beberapa petani agar diberi penyuluhan (lumayan lega pikiranku) setelah terkumpul beberapa orang dan dianggap cukup dimulailah penyuluhan yang diinginkan tapi yang membuat kecewa ternyata forum itu justru diisi dengan berbagai pertanyaan dari petugas tadi tentang tetek bengek perihal kematian udang dan sampai "penyuluhan" selesai tanpa dibarengi dengan penjelasan yang memadai...
Sampai kini para petani masih berharap bahwa petugas itu akan kembali dengan membawa solusi riil atas persoalan yang dihadapi sebagaimana dulu mereka pernah berjanji akan datang lagi... Tapi entah kapan padahal udang - udang ini terus mati tanpa mau sabar menunggu.
......
Segudang pertanyaan dari rasa penasaran memenuhi kepalaku, penasaran akan sebab kematian massal udang vaname itu segala kemungkinan mulai aku inventarisir; mungkin karena sistem irigasi di kampungku yang semuanya include di sungai yang sama sehingga jika petak tambak yang udangnya mati dan airnya dikuras ke sungai itu sama halnya dengan memindahkan kematian udang ke petak tambak lain yang sedang mengisi air.; atau mungkin karena rentang tahun 2010 - 2011 tak ada musim kemarau yang sampai mengeringkan petak tambak dan sungai sehingga sisa makanan, pupuk dan obat - obatan yang tidak terdegradasi di petak tambak dan sungai itu justru berubah wujud dan kemudian menjadi sumber penyakit. Ach.. kemungkinan memang tanpa batas apalagi bagi seorang petani kecil yang melihat kemungkinan itu hanya berdasar pada dugaan.
Secercah harapan sempat tumbuh saat ada 6 orang yang katanya petugas dari perusahaan pupuk BUMN akan meneliti dan mencari solusi kematian massal udang vaname ini. Dengan seragam beratribut BUMN, sepatu mengkilap lengkap dengan memakai topi (mungkin takut wajahnya menjadi hitam) mereka sibuk menimba air dan kemudian melakukan tes kadar keasaman air di tambak tapi setelah diketahui bahwa kadar keasaman air sudah sesuai dengan kebutuhan udang mereka kok hanya jalan mondar mandir keliling tambak tanpa ada penjelasan.
Capek jalan berkeliling (lebih mirip orang lagi liburan) mereka hendak berpamitan dengan membawa sampel air dan udang yang mati, sebelum pulang mereka juga minta untuk bisa dikumpulkan beberapa petani agar diberi penyuluhan (lumayan lega pikiranku) setelah terkumpul beberapa orang dan dianggap cukup dimulailah penyuluhan yang diinginkan tapi yang membuat kecewa ternyata forum itu justru diisi dengan berbagai pertanyaan dari petugas tadi tentang tetek bengek perihal kematian udang dan sampai "penyuluhan" selesai tanpa dibarengi dengan penjelasan yang memadai...
Sampai kini para petani masih berharap bahwa petugas itu akan kembali dengan membawa solusi riil atas persoalan yang dihadapi sebagaimana dulu mereka pernah berjanji akan datang lagi... Tapi entah kapan padahal udang - udang ini terus mati tanpa mau sabar menunggu.
Domba Garut, Plasma Nutfah Indonesia
GARUT, KOMPAS.com - Peningkatan potensi domba garut sebagai plasma nutfah unggulan Indonesia belum dimaksimalkan. Padahal, domba garut bisa menjadi salah satu penyumbang ketersediaan daging secara nasional sekaligus menjadi identitas ciri khas lokal asli Indonesia.
"Potensi ini membutuhkan dukungan banyak pihak bila ingin bertambah menjadi lebih besar. Bila berhasil ditingkatkan, tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat Garut," ujar Bupati Garut Aceng Fikri saat melantik Pengurus Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI) Kabupaten Garut 2011-2016 di Garut, Rabu (9/3/2011).
Aceng mengatakan, dengan segala karakteristiknya, usaha peternakan domba garut diyakini mampu menyumbangkan ketersediaan daging secara lokal dan nasional. Alasannya, dengan perawatan yang relatif mudah, seekor domba garut mampu menghasilkan daging antara 40-80 kilogram.
Selain itu, dengan pengolahan yang benar, kulit domba garut berpotensi menjadi bahan olahan lain seperti jaket atau kerajinan lainnya bernilai ekonomi tinggi.
Akan tetapi, Aceng mengatakan, potensi itu belum dikembangkan sepenuhnya. Salah satu penyebabnya adalah minimnya populasi domba garut. Meskipun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kapasitas produksinya, Aceng menekankan pada petani dan pembudidaya domba garut agar terus menjaga produktivitas ternak domba dengan meningkatkan proses reproduksi.
Caranya, rajin melakukan proses perkawinan pada domba garut yang siap kawin. Hal itu diyakini akan mampu menjamin ketersediaan ternak domba secara berkelanjutan.
Selain itu, Aceng juga mengharapkan setiap peternak yang sudah mahir juga bersedia mengembangkan keahliannya pada masyarakat lainnya. Tujuannya, agar sektor peternakan domba garut ini bisa turut meningkatkan kapasitas perekonomian masyarakat setempat.
"Dipadukan dengan budaya laga domba garut yang kerap diselenggarakan masyarakat, saya yakin bila digarap dengan serius maka akan semakin banyak petani dan sektor usaha lewat keberadaan domba garut," katanya.
Ketua Umum HPDKI Jawa Barat, Yudi Guntara, mengatakan, selain mampu meningkatkan kualitas perekonomian, domba garut juga berpotensi mengangkat Garut dan Indonesia di dunia internasional. Alasannya, domba garut adalah satwa khas atau plasma nutfah asli Indonesia.
"Ke depan kami ingin menjadi berperan sebagai wadah berkumpulnya para peternak harus terus berupaya meningkatkan kampanye kepedulian terhadap upaya peningkatan produktivitas ternak domba," kata Yudi.
"Potensi ini membutuhkan dukungan banyak pihak bila ingin bertambah menjadi lebih besar. Bila berhasil ditingkatkan, tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat Garut," ujar Bupati Garut Aceng Fikri saat melantik Pengurus Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI) Kabupaten Garut 2011-2016 di Garut, Rabu (9/3/2011).
Aceng mengatakan, dengan segala karakteristiknya, usaha peternakan domba garut diyakini mampu menyumbangkan ketersediaan daging secara lokal dan nasional. Alasannya, dengan perawatan yang relatif mudah, seekor domba garut mampu menghasilkan daging antara 40-80 kilogram.
Selain itu, dengan pengolahan yang benar, kulit domba garut berpotensi menjadi bahan olahan lain seperti jaket atau kerajinan lainnya bernilai ekonomi tinggi.
Akan tetapi, Aceng mengatakan, potensi itu belum dikembangkan sepenuhnya. Salah satu penyebabnya adalah minimnya populasi domba garut. Meskipun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kapasitas produksinya, Aceng menekankan pada petani dan pembudidaya domba garut agar terus menjaga produktivitas ternak domba dengan meningkatkan proses reproduksi.
Caranya, rajin melakukan proses perkawinan pada domba garut yang siap kawin. Hal itu diyakini akan mampu menjamin ketersediaan ternak domba secara berkelanjutan.
Selain itu, Aceng juga mengharapkan setiap peternak yang sudah mahir juga bersedia mengembangkan keahliannya pada masyarakat lainnya. Tujuannya, agar sektor peternakan domba garut ini bisa turut meningkatkan kapasitas perekonomian masyarakat setempat.
"Dipadukan dengan budaya laga domba garut yang kerap diselenggarakan masyarakat, saya yakin bila digarap dengan serius maka akan semakin banyak petani dan sektor usaha lewat keberadaan domba garut," katanya.
Ketua Umum HPDKI Jawa Barat, Yudi Guntara, mengatakan, selain mampu meningkatkan kualitas perekonomian, domba garut juga berpotensi mengangkat Garut dan Indonesia di dunia internasional. Alasannya, domba garut adalah satwa khas atau plasma nutfah asli Indonesia.
"Ke depan kami ingin menjadi berperan sebagai wadah berkumpulnya para peternak harus terus berupaya meningkatkan kampanye kepedulian terhadap upaya peningkatan produktivitas ternak domba," kata Yudi.
Langganan:
Postingan (Atom)