Jumat, 13 November 2009

Prospek Pertanian Organik di Indonesia

Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan "Back to Nature" telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.


Rabu, 11 November 2009

Wah, Harga Tokek sampai Miliaran?

Kompas; Kamis, 5 Maret 2009 | 09:20 WIB

Beberapa bulan terakhir, santer beredar kabar bisnis tokek sedang booming. Konon, harga tokek ukuran satu kilogram bisa mencapai miliaran rupiah. Lantaran untungnya memang besar, banyak orang menjajal bisnis ini. Tapi jangan keburu tergiur dulu, bisnis ini masih serba gelap.

Berhentilah mempermainkan tokek. Jika selama ini tokek cuma dijadikan bahan ledekan buat meramal cuaca, kini tokek justru menjadi buruan. Bahkan, santer beredar rumor, permintaan binatang melata ini sedang tinggi-tingginya. Meski pasarnya terbatas, bisnisnya tetap booming. Harga seekor tokek pun konon bisa sampai miliaran rupiah jika bobotnya mencapai satu kilogram per ekor.

Memang hampir tak bisa dipercaya. Tapi, simaklah penuturan Sudarmono. Sejak dua bulan lalu, ia terjun ke bisnis ini. Caranya, dengan menjadi perantara jual beli tokek. Ia yakin peminat binatang ini menghargai seekor tokek dengan harga cukup fantastis.

Tak perlu sampai satu kilo, tokek berbobot tiga sampai empat ons saja laku dijual dengan harga Rp 100 juta sampai Rp 150 juta. "Hanya tokek berbobot minimal tiga ons dihargai mahal, sedangkan yang bobotnya kurang sedikit saja harganya anjlok," kata Sudarmono.

Dalam kurun waktu yang belum lama menjajal bisnis ini, Sudarmono mengaku sudah berhasil memerantarai jual beli tokek seharga Rp 30 juta. Upah sebagai mediator 25 persen dari nilai transaksi.

Sudarmono mengaku menyesal hanya menjual dengan harga sebesar itu. Pasalnya, ia masih belum terlalu banyak tahu soal pasar tokek. "Mestinya dulu saya bisa jual antara Rp 100 juta sampai Rp 150 juta. Waktu itu saya memang belum pengalaman," katanya menyesal.

Menurut Sudarmono, tokek banyak diburu karena faktor hobi atau sebagai obat asma dan penyakit kulit. "Saya dengar, tokek banyak dipesan oleh orang Jepang dan Taiwan sebagai media penelitian obat AIDS," kata bapak dua anak ini.

Mahdi, pemain lain di bisnis ini, mengakui, bisnis tokek sedang booming beberapa bulan terakhir. Sejak terjun ke bisnis ini awal tahun, ia sudah dua kali menjual tokek berberat sekitar tiga ons. la melego masing-masing Rp 5 juta per ekor. Pembelinya dari Jakarta. la mendapatkan tokek dari Karawang, Jawa Barat.

Mahdi mengaku mengambil untung besar dari bisnis ini. Saat membeli dari penjual di Karawang, ia tak mematok harga. "la minta Rp 300.000, ya saya kasih," aku pria yang berdomisili Bekasi ini terkekeh.

Tapi, bagi Anda yang akan mencoba peruntungan di bisnis ini, harap hati-hati. Mahdi, misalnya, tak yakin harga tokek sampai miliaran rupiah seperti di internet. Aslinya cuma puluhan juta rupiah. "Kalau tokek setengah kg paling mahal Rp 20 juta," katanya.

Mahdi sebetulnya tak terlalu percaya bahwa permintaan tokek sangat tinggi. la yakin hal itu cuma gorengan sejumlah pihak. la melihat bisnis tokek marak belum ada setahun ini. la yakin bisnis ini tak akan bertahan lama. "Tak akan bertahan sampai tahun depan," tandasnya.

Kata Mahdi, bisnis tokek masih serba gelap. Tak jelas pasarnya, juga tak terang standar harganya. "Meski begitu, saya tertantang terjun ke bisnis ini," katanya. Kadang, yang menantang memang berisiko. (Anastasia Lilin Yuliantina/ Kontan)

Kamis, 09 Juli 2009

Menunggu janji Presiden untuk petani


Meskipun hasil penghitungan resmi oleh KPU belum keluar. setidaknya melihat hasil hitungan cepat lembaga survey dengan metode masing-masing, seluruh lembaga survey menempatkan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang dengan perolehan suara yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan Pemilu Presiden 2009 ini hanya dalam satu putaran. Karena rata-rata margin error hitung cepat lembaga survey yang tidak lebih dari 2 %, maka hampir dapat dipastikan pasangan SBY-Boedionolah yang akan memimpin negeri ini untuk 5 tahun kedepan.

Di negeri ini, masyarakat petani menempati rangking teratas dalam hal jumlah bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya, karena itu wajar jika pada masa kampanye para kandidat capres-cawapres menempatkan pertanian sebagai issue strategis untuk dijadikan komoditas kampanye dalam rangka mendongkrak perolehan suara. Hal ini juga dilakukan oleh pasangan SBY-Boediono, setidaknya janji SBY-Boediono terkait pertanian yang dirangkum dalam www.indonesiamemilih.kompas.com adalah sebagai berikut;

1. Menaikkan anggaran pertanian
2. Subsidi benih padi dan pupuk
3. Swasembada untuk kecukupan pangan
4. Pangan menjadi prioritas utama untuk meningkatkan kesejahteraan
5. Menaikkan harga hasil panen petani
6. Meningkatkan produktifitas pertanian
7. Mempertahankan dan meningkatkan swasembada pertanian

Janji-janji SBY-Boediono tersebut diatas, setidaknya memberi harapan baru untuk perbaikan nasib para petani, meskipun sebenarnya banyak diantara petani yang -bisa jadi- kurang yakin SBY-Boediono akan benar-benar mampu mewujudkan janji tersebut.

Selama ini sudah terlalu sering kita jumpai, jika ada orang yang punya karep maka dengan mudahnya mengobral janji tetapi pada saat karepnya sudah teraih, dengan begitu mudahnya pula janji itu ter/dilupakan begitu saja.

Selanjutnya, para petani hanya mampu berharap dan menunggu sembari berdo'a semoga SBY-Boediono tidak lupa akan janji-janjinya untuk pertanian dan bisa mewujudkan janji-janji tersebut.

Minggu, 14 Juni 2009

musim yang semakin tak menentu


skarang sudah bulan juni, berdasarkan pengalaman smua petani memperkirakan bahwa bulan juni mestinya sudah memasuki musim kemarau.
banyak tanaman yang sudah ditanam untuk menyambut musim kemarau tahun ini, tetapi alam berkata lain..
sampai sekarang hampir tiap hari hujan masih mengguyur dan mematikan tanaman tembakau yang telah ditanam oleh pateni tembakau di bojonegoro, bahkan di banyak tempat lain sampai sekarang masih sering terjadi banjir karena hujan yang tak kunjung berhenti..
apa ini semua karna pemanasan global yang -katanya- telah merusak siklus iklim di planet biru ini...???
wallahu a'lamu

Selasa, 03 Februari 2009

udang vaname, asa baru petani tambak di Lamongan

Sebagai seorang petani kecil, saya tidak tahu pasti kapan udang vaname mulai dibudidayakan di indonesia, yang saya tahu udang vaname bukanlah udang varietas asli negeri ini, bagi saya dari mana asalnya udang vaname juga tidak terlalu penting karena yang terpenting saat ini udang vaname telah memberikan asa baru bagi petani tambak di Lamongan, tempat saya juga menjadi petani.

Setelah pada tahun - tahun sebelumnya petani tambak sering mengalami kerugian saat menanam udang windu, tepatnya pada pertengahan tahun 2007, salah satu lahan tambak milik orang tua saya mencoba diisi bibit udang vaname, karena baru mencoba saya hanya berani menebar benih sejumlah 20 rean (1 rean = 5.000 ekor bibit udang), tidak banyak memang. Mencoba sesuatu yang baru tentu saja memaksa saya untuk lebih rajin bertanya, menimba ilmu dari petambak lain yang lebih berpengalaman, bahkan tidak jarang sampai ke luar kota. Meski begitu perasaan khawatir tetap saja menghantui saya, karena sama - sama udang masih sering terbayang kegagalan saat menanam udang windu.

========
10 hari setelah penebaran benih belum juga terlihat udang yang telah disebar, saya datangi kembali "guru" di luar kota, setelah saya ceritakan apa yang terjadi sang guru hanya tersenyum, senyum yang menurut saya justru mengikis perasaan khawatir, karena senyum itu berarti bahwa tidak ada masalah dengan udang vaname yang kutebar, dan benar saja saya diminta untuk tidak perlu khawatir dan kalau perlu jangan tiap hari mengecek udang tersebut, "tunggu sampai 25 hari" katanya.

tepat pada hari ke 25 setelah saya menebar benih, saya mengecek lagi udang yang vaname dan apa yang saya lihat telah mampu mengikis kekhawatiranku, udang vaname terlihat begitu cepat berkembang (besar). Kali ini saya rasa tidak perlu datang untuk "melapor" pada guru di luar kota, cukup saya telpon saja. Dengan semangat & senyum mengembang saya ceritakan gimana perkembangan udang yang saya tebar.

setelah hampir tiga bulan menunggu sejak saya menebar bibit udang, saya kembali mengecek udang tersebut saya merasa bahwa sudah saatnya masa panen karena udang yang saya tebar sudah besar selain itu juga karena air di petak tambak saya kian menyusut seiring datangnya musim kemarau sedangkan sungai terdekat yang ada juga sudah mengering sehingga tidak ada lagi pasokan air untuk menambah debit air yang ada di dalam tambak.

hasilnya..?
cukup membuat saya bahagia, rasa khawatir akan kegagalan yang dulu sempat menghantui musnah sudah masa - masa menunggu yang sempat membuat saya panik terbyarkan oleh hasil panen udang vaname tersebut. ya, udang vaname telah memberikan asa baru buatku dan juga buat para petani tambak lainnya di Lamongan, dan seperti yang saya duga ketika datang masa tanam ikan/udang pada tahun berikutnya para petani lain pun ikut menanam udang vaname, heroisme petani untuk menanam udang vaname seakan telah mampu menghapus kenangan kelam kegagalan menanam udang windu.

saat pupuk pabrik kian langka

Setiap hari akhir - akhir ini kita selalu disuguhi berita tentang kegelisahan petani karena kelangkaan pupuk. Seluruh masyarakat petani di indonesia merasakan kegelisahan yang sama yakni pupuk pabrik yang seakan - akan menghilang dari pasaran, kalaupun ada harganya naik menjadi tiga kali lipat bahkan di Lamongan harga pupuk urea produksi petro di toko pengecer dijual dengan harga Rp. 135.000 s/d 150.000 per sak (50 Kg). Tentu saja ini merupakan kejahatan serius karena sebelumnya pemerintah melalui Direktur Jenderal (Dirjen) Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Ir Soetarto Alimoeso menegaskan, pemerintah tetap mepertahankan Harga Eceran Tertingi (HET) pupuk meskipun akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Meskipun harga BBM naik, Dia mengatakan, HET pupuk urea harus tetap Rp1.200/kilogram atau Rp60 ribu/zak kemasan 50 kilogram. NPK Rp1.750/kilogram (kg) atau Rp35 ribu/zak kemasan 20 kg, ZA Rp1.050/kg (Rp52.500/zak kemasan 50 kg) dan SP-36 Rp1.550/kg atau Rp77.500/zak kemasan 50 kg. Harga ini berlaku sejak awal 2007.

Apa yang sedang terjadi di negeri agraris ini...?
kemana hilangnya pupuk produksi pabrik...?

faktanya pabrik pupuk juga masih tetap berproduksi, asap dari cerobong pabrik - pabrik itu juga tidak pernah berhenti mengepul, distributor resmi juga sudah disiapkan sampai tingkat paling bawah, lalu kenapa pemerintah seakan sudah tidak lagi mampu mencarikan solusi, padahal pemerintah selalu mentargetkan untuk semakin meningkatkan hasil produksi pertanian, mungkinkah..?

di tengah kemelut persoalan pupuk pabrik yang tak kunjung selesai, saya kemudian berkhayal jika saja sejak awal petani kita dibiasakan untuk memanfaatkan cara - cara bertani organik mungkin persoalan seperti saat ini tidak akan terjadi, hanya saja sudah terlalu lama petani kita "dipaksa" untuk bertani dengan selalu bertumpu pada produk - produk pabrik yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah, melalui "topeng" meningkatkan produktifitas hasil pertanian telah berhasil memaksa petani untuk memakai produk yang tidak ramah lingkungan tersebut, dengan luas lahan yang semakin menyempit tanah dipaksa untuk memberi hasil lebih banyak tanpa melihat efek negatif jangka panjang pemakaian produk - produk tersebut. Unsur hara yang terkandung dalam tanah semakin berkurang, banyak sisa - sisa pupuk dan obat - obatan pabrik yang tidak terurai, bahkan membunuh jutaan bakteri pengurai, maka otomatis tingkat kesuburan tanah juga semakin menurun.

petani sudah sangat bergantung pada pupuk dan obat - obatan berbahan kimia, dalam benak petani yang namanya pupuk sudah pasti produksi pabrik, selain itu berarti bukan pupuk. Akan sangat susah untuk mengajak petani kembali bertani secara organik, meskipun dalam keadaan terpaksa seperti saat ini.