Selasa, 03 Februari 2009

udang vaname, asa baru petani tambak di Lamongan

Sebagai seorang petani kecil, saya tidak tahu pasti kapan udang vaname mulai dibudidayakan di indonesia, yang saya tahu udang vaname bukanlah udang varietas asli negeri ini, bagi saya dari mana asalnya udang vaname juga tidak terlalu penting karena yang terpenting saat ini udang vaname telah memberikan asa baru bagi petani tambak di Lamongan, tempat saya juga menjadi petani.

Setelah pada tahun - tahun sebelumnya petani tambak sering mengalami kerugian saat menanam udang windu, tepatnya pada pertengahan tahun 2007, salah satu lahan tambak milik orang tua saya mencoba diisi bibit udang vaname, karena baru mencoba saya hanya berani menebar benih sejumlah 20 rean (1 rean = 5.000 ekor bibit udang), tidak banyak memang. Mencoba sesuatu yang baru tentu saja memaksa saya untuk lebih rajin bertanya, menimba ilmu dari petambak lain yang lebih berpengalaman, bahkan tidak jarang sampai ke luar kota. Meski begitu perasaan khawatir tetap saja menghantui saya, karena sama - sama udang masih sering terbayang kegagalan saat menanam udang windu.

========
10 hari setelah penebaran benih belum juga terlihat udang yang telah disebar, saya datangi kembali "guru" di luar kota, setelah saya ceritakan apa yang terjadi sang guru hanya tersenyum, senyum yang menurut saya justru mengikis perasaan khawatir, karena senyum itu berarti bahwa tidak ada masalah dengan udang vaname yang kutebar, dan benar saja saya diminta untuk tidak perlu khawatir dan kalau perlu jangan tiap hari mengecek udang tersebut, "tunggu sampai 25 hari" katanya.

tepat pada hari ke 25 setelah saya menebar benih, saya mengecek lagi udang yang vaname dan apa yang saya lihat telah mampu mengikis kekhawatiranku, udang vaname terlihat begitu cepat berkembang (besar). Kali ini saya rasa tidak perlu datang untuk "melapor" pada guru di luar kota, cukup saya telpon saja. Dengan semangat & senyum mengembang saya ceritakan gimana perkembangan udang yang saya tebar.

setelah hampir tiga bulan menunggu sejak saya menebar bibit udang, saya kembali mengecek udang tersebut saya merasa bahwa sudah saatnya masa panen karena udang yang saya tebar sudah besar selain itu juga karena air di petak tambak saya kian menyusut seiring datangnya musim kemarau sedangkan sungai terdekat yang ada juga sudah mengering sehingga tidak ada lagi pasokan air untuk menambah debit air yang ada di dalam tambak.

hasilnya..?
cukup membuat saya bahagia, rasa khawatir akan kegagalan yang dulu sempat menghantui musnah sudah masa - masa menunggu yang sempat membuat saya panik terbyarkan oleh hasil panen udang vaname tersebut. ya, udang vaname telah memberikan asa baru buatku dan juga buat para petani tambak lainnya di Lamongan, dan seperti yang saya duga ketika datang masa tanam ikan/udang pada tahun berikutnya para petani lain pun ikut menanam udang vaname, heroisme petani untuk menanam udang vaname seakan telah mampu menghapus kenangan kelam kegagalan menanam udang windu.

saat pupuk pabrik kian langka

Setiap hari akhir - akhir ini kita selalu disuguhi berita tentang kegelisahan petani karena kelangkaan pupuk. Seluruh masyarakat petani di indonesia merasakan kegelisahan yang sama yakni pupuk pabrik yang seakan - akan menghilang dari pasaran, kalaupun ada harganya naik menjadi tiga kali lipat bahkan di Lamongan harga pupuk urea produksi petro di toko pengecer dijual dengan harga Rp. 135.000 s/d 150.000 per sak (50 Kg). Tentu saja ini merupakan kejahatan serius karena sebelumnya pemerintah melalui Direktur Jenderal (Dirjen) Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Ir Soetarto Alimoeso menegaskan, pemerintah tetap mepertahankan Harga Eceran Tertingi (HET) pupuk meskipun akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Meskipun harga BBM naik, Dia mengatakan, HET pupuk urea harus tetap Rp1.200/kilogram atau Rp60 ribu/zak kemasan 50 kilogram. NPK Rp1.750/kilogram (kg) atau Rp35 ribu/zak kemasan 20 kg, ZA Rp1.050/kg (Rp52.500/zak kemasan 50 kg) dan SP-36 Rp1.550/kg atau Rp77.500/zak kemasan 50 kg. Harga ini berlaku sejak awal 2007.

Apa yang sedang terjadi di negeri agraris ini...?
kemana hilangnya pupuk produksi pabrik...?

faktanya pabrik pupuk juga masih tetap berproduksi, asap dari cerobong pabrik - pabrik itu juga tidak pernah berhenti mengepul, distributor resmi juga sudah disiapkan sampai tingkat paling bawah, lalu kenapa pemerintah seakan sudah tidak lagi mampu mencarikan solusi, padahal pemerintah selalu mentargetkan untuk semakin meningkatkan hasil produksi pertanian, mungkinkah..?

di tengah kemelut persoalan pupuk pabrik yang tak kunjung selesai, saya kemudian berkhayal jika saja sejak awal petani kita dibiasakan untuk memanfaatkan cara - cara bertani organik mungkin persoalan seperti saat ini tidak akan terjadi, hanya saja sudah terlalu lama petani kita "dipaksa" untuk bertani dengan selalu bertumpu pada produk - produk pabrik yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah, melalui "topeng" meningkatkan produktifitas hasil pertanian telah berhasil memaksa petani untuk memakai produk yang tidak ramah lingkungan tersebut, dengan luas lahan yang semakin menyempit tanah dipaksa untuk memberi hasil lebih banyak tanpa melihat efek negatif jangka panjang pemakaian produk - produk tersebut. Unsur hara yang terkandung dalam tanah semakin berkurang, banyak sisa - sisa pupuk dan obat - obatan pabrik yang tidak terurai, bahkan membunuh jutaan bakteri pengurai, maka otomatis tingkat kesuburan tanah juga semakin menurun.

petani sudah sangat bergantung pada pupuk dan obat - obatan berbahan kimia, dalam benak petani yang namanya pupuk sudah pasti produksi pabrik, selain itu berarti bukan pupuk. Akan sangat susah untuk mengajak petani kembali bertani secara organik, meskipun dalam keadaan terpaksa seperti saat ini.