Selasa, 03 Februari 2009

saat pupuk pabrik kian langka

Setiap hari akhir - akhir ini kita selalu disuguhi berita tentang kegelisahan petani karena kelangkaan pupuk. Seluruh masyarakat petani di indonesia merasakan kegelisahan yang sama yakni pupuk pabrik yang seakan - akan menghilang dari pasaran, kalaupun ada harganya naik menjadi tiga kali lipat bahkan di Lamongan harga pupuk urea produksi petro di toko pengecer dijual dengan harga Rp. 135.000 s/d 150.000 per sak (50 Kg). Tentu saja ini merupakan kejahatan serius karena sebelumnya pemerintah melalui Direktur Jenderal (Dirjen) Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Ir Soetarto Alimoeso menegaskan, pemerintah tetap mepertahankan Harga Eceran Tertingi (HET) pupuk meskipun akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Meskipun harga BBM naik, Dia mengatakan, HET pupuk urea harus tetap Rp1.200/kilogram atau Rp60 ribu/zak kemasan 50 kilogram. NPK Rp1.750/kilogram (kg) atau Rp35 ribu/zak kemasan 20 kg, ZA Rp1.050/kg (Rp52.500/zak kemasan 50 kg) dan SP-36 Rp1.550/kg atau Rp77.500/zak kemasan 50 kg. Harga ini berlaku sejak awal 2007.

Apa yang sedang terjadi di negeri agraris ini...?
kemana hilangnya pupuk produksi pabrik...?

faktanya pabrik pupuk juga masih tetap berproduksi, asap dari cerobong pabrik - pabrik itu juga tidak pernah berhenti mengepul, distributor resmi juga sudah disiapkan sampai tingkat paling bawah, lalu kenapa pemerintah seakan sudah tidak lagi mampu mencarikan solusi, padahal pemerintah selalu mentargetkan untuk semakin meningkatkan hasil produksi pertanian, mungkinkah..?

di tengah kemelut persoalan pupuk pabrik yang tak kunjung selesai, saya kemudian berkhayal jika saja sejak awal petani kita dibiasakan untuk memanfaatkan cara - cara bertani organik mungkin persoalan seperti saat ini tidak akan terjadi, hanya saja sudah terlalu lama petani kita "dipaksa" untuk bertani dengan selalu bertumpu pada produk - produk pabrik yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah, melalui "topeng" meningkatkan produktifitas hasil pertanian telah berhasil memaksa petani untuk memakai produk yang tidak ramah lingkungan tersebut, dengan luas lahan yang semakin menyempit tanah dipaksa untuk memberi hasil lebih banyak tanpa melihat efek negatif jangka panjang pemakaian produk - produk tersebut. Unsur hara yang terkandung dalam tanah semakin berkurang, banyak sisa - sisa pupuk dan obat - obatan pabrik yang tidak terurai, bahkan membunuh jutaan bakteri pengurai, maka otomatis tingkat kesuburan tanah juga semakin menurun.

petani sudah sangat bergantung pada pupuk dan obat - obatan berbahan kimia, dalam benak petani yang namanya pupuk sudah pasti produksi pabrik, selain itu berarti bukan pupuk. Akan sangat susah untuk mengajak petani kembali bertani secara organik, meskipun dalam keadaan terpaksa seperti saat ini.

Tidak ada komentar: