Rabu, 30 Maret 2011

Pengendalian Penyakit TAURA SYNDROME VIRUS (TSV) pada Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Pengendalian Penyakit TAURA SYNDROME VIRUS (TSV) pada Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei

TSV mempakan virus yang menginfeksi udang vaname dan rostris (L. stylirostris) yang keduanya telah diintroduksi di Indanesia. Serangan TSV pada umumnya terjadi pada umur 14-40 hari setelah penebaran di tambak, dengan tingkat kematian dapat mencapai 95%. Apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, berarti infeksi berasal dari induk (vertikal), jika lebih dari 60 hari berarti infeksi berasal dari lingkungan (horisontal).

Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat kematiannya relatif rendah. Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut akan terjadi kematian massal. Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis. Pada fase kronis, udang mampu hidup dari tumbuh relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.

Beberapa gejala berikut ini dapat digunakan sebagai indikator kemungkinan adanya infeksi TSV, antara lain:

• Pada infeksi berat (akut) sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami kematim didominasi oleh udang yang sedang/baru selesai proses pergantian kulit (moulting), saluran pencemaan kosong dan warna tubuh kemerahan. Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada ekor kipas (telson)
• Udang yang selamat dari fase akut, umurnnya mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di bawah lapisan kutikula

TEKNIK PENGENDALIAN
Langkah utama pengendalian penyakit TSV harus dimulai dari upaya mencegah masuknya patogen ke dalam sistem budidaya udang melalui regulasi dan teknis yang terintegrasi dan berkesinambungan. Masuknya patogen ini dapat berasal dari induk, benur, air, carrier, pakan, pelaku budidaya, dan seluruh komponen produksi udang.
Rekomendasi strategi pengendalian penyakit TSV adalah memadukan antara aspek teknis dan regulasi secara sinergis yang disepakati oleh seluruh komponen (asosiasi), dilengkapi dengan prosedur operasional baku (Standard Operational Procedure, SOP), disosialisasikan secara rutin, dikawal oleh pemerintah dan dilakukan secara bersama-sama.

Pemahaman yang sama oleh seluruh komponen bahwa penyakit tersebut sangat berbahaya karena masuknya satu virion TSV ke dalam unit budidaya akan menjadi ancaman serius bagi keberhasilan budidaya. Strategi pengendalian penyakit TSV harus didasarkan pada upaya mencegah masuknya virus tersebut melalui berbagai jalur (konsep biosecurity).

Skrining Induk
Induk udang mempakan sumber potensial penularan penyakit TSV. Oleh karena itu, setiap individu induk udang harus bebas dari TSV. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka skrining harus dilakukan dengan metoda standar (c.q. PCR) secara periodik sebelum induk dipijahkan.

Untuk mencegah penyebaran TSV, benur harus diskrining sebelum ditebar meskipun berasal dari induk bebas TSV Oleh karena itu, skrining sebaiknya dilakukan 2-3 hari sebelum benur tersebut ditebar melalui dua tahap :
• Ambil 1-2% dan total populasi benur yang berasal dari satu bak/wadah, kemudian lakukan “uji keprimaan” benur secara perendaman dalam larutan formalin 200 ppm atau air tawar bersalinitas 0-5 promil selama 30 menit.
• Benur yang terlihat lemah pads “uji keprimaan”, diambil sebanyak 150 ekor untuk selanjutnya dilakukan diagnosa dengan teknik PCR.
Bila hasil diagnosa tahap 2 diperoleh hasil positif, maka populasi benur tersebut harus dimusnahkan.

Eradikasi TSV di Air pada Wadah Budidaya
Virion TSV masih infektif pada udang mati (karkas) sekitar 21 hari. Karkas akan melepaskan jutaan virion ke lingkungan perairan dan bertahan sampai dengan 4 (empat) hari. Oleh karena itu, air budidaya perlu didesinfeksi dengan menggunakan klorin (30 ppm) dan dibiarkan selama 7 (tujuh) hari.

Media Pembawa TSV
Media pembawa TSV (carrier dan vector) antara lain udang vaname yang mengalami infeksi kronis, biota akuatik, hewan dan tumbuhan lain yang membawa TSV harus dimusnahkan.
Peralatan dan personal, dapat membawa dan menyebarkan TSV sehingga harus dilakukan desinfeksi.

Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Budidaya
A. Lokasi
Lokasi pertambakan yang baik sangat mendukung kehidupan udang budidaya sehingga mampu bertahan terhadap infeksi patogen. Persyaratan lokasi yang baik antara lain bebas dari cemaran karena akan berakibat pada rendahnya kualitas air. Tarnbak yang sudah terlanjur dibangun di area tercemar harus dilengkapi dengan fasilitas perbaikan kualitas air.

B. Disain dan Konstruksi
Disain dan konstmksi tambak dibuat untuk memberikan lingkungan yang baik bagi kehidupan udang dan mampu mencegah masuknya patogen dari luar serta mudah dilakukan pengendalian penyakit. Disamping petakan budidaya juga harus disiapkan petakan tandon sebagai sumber air laut bebas virus. Petakan tandon juga dilengkapi dengan petak pengendapan.

C. Kawasan Budidaya Bebas Penyakit
Keberhasilan produksi dalam satu kawasan pertambakan ditemukan oleh kesadaran, disiplin, dan kerjasama par petambak. Penerapan cara berbudidaya yang benar yang dilakukan oleh sebagian petambak pada kawasan budidaya belum menjamin keberhasilan produksi secara berkelanjutan.

D. Sistem Budidaya
Sistem pertambakan yang baik untuk pengendalian penyakit TSV adalah sistem semi tertutup (semi closed system) dan tertutup (closed system), sehingga disain dan konstruksi harus disesuaikan. Tambak yang ideal terdiri dari petakan pemeliharaan dan petakan tandon, serta dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet yang terpisah. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga sistem pertambakan dari kemungkinan masuknya patogen dari luar dan keluamya patogen dari dalam ke luar sistem.
Cara lain untuk menghindari resiko infeksi virus dapat dilakukan dengan pergiliran pola tanam atau mengistirahtkan tambak untuk jangka waktu tertentu.

E. Pengelolaan Kualitas Air
Pasokan air dapat dimasukkan ke dalam tandon menggunakam pompa atau tenaga pasang surut. Air yang akan digunakan untuk budidaya udang harus bebas dari virus. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
• Gunakan saringan halus berlapis pada setiap pipa/pintu pasok air untuk mencegah masuknya karier ke dalam petak tandon.
• Gunakan petak tandon (reservoir) sebagai sumber pasokan air budidaya.
• Air di petak tandon dapat didesinfeksi, biofiltrasi, dan bioremidiasi.
• Air di petak tandon setelah dilakukan proses : point (1) sampai (3) dibiarkan selama 4 (empat) hari baru dapat digunakan di petak budidaya.

Pengelolaan Pakan
Pakan yang diberikan (segar dan alami) harus bebas dari TSV. Pakan segar dapat dibebaskan dari TSV melalui pemasakan terlebih dahulu. Sedangkan untuk pakan alami harus diskrining terlebih dahulu, jika mengandung TSV harus dimusnahkan.
Penambahan pakan suplemen (feed additive) seperti vitamin, immumostimulan, mineral, HUFA, Carotenoid, astaxanthin dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang yang dibudidaya. Vitamin C dapat diberikan dengan dosis 3 gram per kg pakan. Betaglucan dapat diberikan 0,1 g per kg pakan, sedangkan fucoidan dengan dosis 60-100 mg per kg berat udang per hari.

Monitoring Kesehatan Udang
Pemantauan kesehatan udang harus dilakukan secara periodik bersamaan dengan saat pemberian pakan dengan cara mengamati kondisi udang. Apabila terjadi kondisi abnormal perlu pengamatan lebih rinci. Abnormalitas udang merupakan peringatan dini (early warning) bagi pengelola akan adanya bahaya penyakit.

Keberadaan burung yang aktif memangsa udang di pematang tambak juga merupakan salah satu indikator awal keadaan udang sakit.
Pengecekan TSV harus dilakukan dengan PCR pada 25 (dua puluh lima) hari pertama setelah penebaran, selanjutnya secara berkala setiap 30 (tiga puluh) hari sampai panen.

Tindakan Darurat
Beberapa tindakan harus dilakukan segera apabila terjadi tanda-tanda wabah dengan cara sebagai berikut:
• Menutup aliran air masuk maupun keluar (isolasi).
• Melaporkan sesegera mungkin ke petugas dinas perikanan atau instansi terkait setempat/terdekat.
• Memperbaiki kualitas air dengan penambahan aerasi.
• Memberi pakan yang mengandung imunostimulan atau vitamin C dosis tinggi.
• Menyebarluaskan informasi kejadian wabah ke petani atau kelompok tani lainnya.
• Apabila tidak dapat dikendalikan, petak tambak segera didesinfeksi, dibiarkan selama 1 minggu, selanjutnya dikeringkan minimal selama 1minggu. Bangkai udang segera diangkat dan dimusnahkan dengan dibakar.
• Tidak menggunakan air, peralatan dan sarana lain yang berasal dan lokasi wabah.
• Membatasi lalu lintas orang dari dan ke lokasi wabah dalam rangka mengisolasi daerah wabah.

1 komentar:

eviet mengatakan...

terima kasih atas informasi yang sudah on line ini, namun sampai saat ini yang terjadi pada para (kami) petambak semi intensif adalah masalah benur atau bibit (gelondong) vanami yang berasal dari para agen bibit.kami sadari kurangnya paeralatan yang memadai untuk pengecekan apakah bibit sudah terinveksi oleh TVS atau belum. sering yang kami alami udang setelah moulting mengalami kejadian seperti tanda tanda virus TVS. rata-rata dibawah usia 40 hari kami harus dipaksa panen (itupun kalau bobot/besarnya udang layak kami ambil) kadang kami tidak bisa panen terpaksa, karena udangnya masih dalam usia dibawah 25 hari..... terus bagaimana tanggung jawab agen vanami tersebut, sementara dalam proses jual beli bibitnya tidak ada jaminan bebas dari virus jenis apapun. kami kan tidak tahu virusnya sudah menjangkit bibit yang kami beli apa belum.... dan mungkin dalam kedepannya kami diberi infor masi mengenai obat anti virusnya atau hanya pencegahan yang lebih efisiennya... sementara ini obat yang ada dipasaran yang kami temui berkisar pada ANTIRIS, PRO-salat, dan terbaru TOGATSU entah produsen mana yang membuat... pada dasarnya obatnya berjenis sama..... namun kalau sudah ada tanda-tanda virus tsb, penanggulangan dengan obat yang ada tidak mampu memberikan efect yang menggembirakan , hanya berkisar 10% kehidupan bibit sampai dewasa, itupun kisaran hanya 50-60 hari jarak hidup udang tersebut.... terima kasih.